Jawaban Eddy yang Membuat Seluruh Kelas Terdiam


Ruang kelas Sekolah Minggu di Gereja Bethel itu dipenuhi suara riuh anak-anak yang bersemangat. Sinar matahari pagi masuk melalui jendela kaca, menerangi wajah-wajah polos yang penuh antusias. Bu Sarah, guru Sekolah Minggu yang sudah mengajar selama 15 tahun, berdiri di depan dengan senyuman hangat.

"Anak-anak," suaranya lembut tapi tegas, "minggu ini kita akan belajar tentang Allah Bapa. Tapi biar mudah dipahami, coba kalian bayangkan Allah Bapa itu seperti papi kalian di rumah. Nah, tugas kalian minggu depan adalah menjawab: Menurut kalian, Allah Bapa itu seperti apa?"

Tangan-tangan kecil langsung terangkat antusias. "Bu Sarah, aku sudah tahu jawabannya!" teriak Andi, anak yang paling aktif di kelas.

Bu Sarah tertawa, "Sabar, Andi. Minggu depan baru kalian presentasi, ya!"

Minggu berikutnya, ruang kelas yang sama kembali dipenuhi kegembiraan. Anak-anak datang dengan mata berbinar, siap menyampaikan jawaban mereka.

"Baik, siapa yang mau mulai?" tanya Bu Sarah sambil duduk di kursi kayu yang sudah agak lusuh.

Andi langsung mengacungkan tangan tinggi-tinggi. "Aku, Bu! Aku!"

"Silakan, Andi."

Anak berusia 8 tahun itu berdiri dengan dada membusung. "Allah Bapa itu seperti dokter!" serunya bangga. "Sama seperti papiku. Ia bisa menyembuhkan penyakit apa aja, yang paling parah sekalipun. Kemarin papa bilang, Allah itu Dokter terhebat di dunia!"

"Wah, bagus sekali," Bu Sarah mengangguk dengan senyum. "Siapa lagi?"

Sarah, gadis kecil berkacamata tebal, mengangkat tangan dengan malu-malu. "Allah Bapa itu seperti guru, Bu. Sama seperti mamaku yang guru di SD. Dia selalu mengajarkan kita untuk berbuat baik dan benar. Dia sabar banget ngajarin kita, meski kita sering nakal."

"Hebat! Jawaban yang indah, Sarah."

Michael, anak yang selalu rapi dengan kemeja putih berkerah, berdiri dengan penuh percaya diri. "Allah Bapa itu seperti hakim!" deklarasinya lantang. "Papaku hakim di pengadilan. Allah juga seperti itu, Dia yang memutuskan semua perkara di bumi. Dia adil dan bijaksana!"

Lisa tidak mau kalah, "Menurutku, Allah Bapa itu seperti arsitek, Bu Sarah. Seperti papa yang bikin rumah-rumah cantik. Allah juga lagi membangun rumah yang indah banget untuk kita di surga!"

Bu Sarah tersenyum hangat melihat semangat anak-anak. Tapi matanya menangkap sosok kecil di pojok belakang yang sedari tadi hanya diam, menatap meja dengan wajah murung.

Eddy. Anak berusia 9 tahun dengan baju kaos yang sudah pudar warnanya. Sepatunya bolong kecil di bagian depan, tapi masih dipakai dengan stolid. Dia tidak pernah banyak bicara, dan Bu Sarah tahu kehidupan keluarganya tidak semudah teman-temannya.

"Eddy," Bu Sarah memanggil dengan suara yang ekstra lembut, "kamu belum menjawab. Menurut kamu, Allah Bapa itu seperti apa?"

Seluruh kelas mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Eddy yang masih menunduk dalam-dalam.

Detik-detik berlalu dengan canggung. Eddy seperti bergulat dengan sesuatu di dalam hatinya.

"Eddy?" Bu Sarah mengulangi dengan penuh kesabaran.

Suara Eddy hampir tidak terdengar ketika akhirnya dia berbicara, masih dengan kepala tertunduk. "Ayah saya... ayah saya seorang pemulung, Bu."

Hening yang mencekam menyelimuti ruangan.

"Jadi saya pikir..." suaranya bergetar, "Allah Bapa itu seperti... seperti seorang pemulung ulung."

"APA?!" Michael melompat dari kursinya. "Eddy! Kamu nggak boleh bilang begitu! Itu ngelecahin Allah!"

"Iya! Masa Allah disamain sama pemulung!" Andi ikut protes keras.

Beberapa anak lain mulai bergumam tidak setuju. Eddy semakin menunduk dalam, tubuhnya bergetar ketakutan.

"Anak-anak, tenang!" Bu Sarah mengangkat tangan, tapi hatinya sendiri terkejut bukan main.

"Eddy," Bu Sarah mendekati meja Eddy dan berlutut di sampingnya, suaranya penuh kelembutan, "bisakah kamu jelaskan kenapa kamu berpikir begitu?"

Air mata mulai menggenang di mata Eddy. Untuk pertama kalinya dia mengangkat wajahnya, menatap Bu Sarah dengan mata yang berkaca-kaca.

"Bu..." suarnya putus-putus, "setiap hari ayah pergi pagi-pagi sekali dengan gerobak sampahnya. Dia nyari barang-barang bekas yang orang lain buang. Botol plastik, kaleng, kardus, bahkan sepatu rusak."

Kelas masih hening, semua mendengarkan dengan seksama.

"Tapi Bu..." Eddy mulai bersuara lebih keras, dengan keyakinan yang menguat, "ayah selalu bilang sama Eddy: 'Nak, barang yang orang lain anggap sampah ini, di tangan ayah bisa jadi berguna lagi. Ayah bersihkan, ayah perbaiki, terus ayah jual. Yang tadinya sampah, jadi punya harga.'"

Bu Sarah merasakan hatinya mulai bergetar.

"Nah Bu," mata Eddy sekarang memancar dengan cahaya yang indah, "menurut Eddy, Allah Bapa juga seperti itu. Dia memungut sampah-sampah seperti Eddy..."

"Eddy, kamu bukan sampah," Bu Sarah hampir berbisik.

"Eddy tahu sekarang, Bu. Tapi dulu Eddy merasa seperti sampah. Orang-orang sering bilang Eddy anak pemulung, jorok, nggak ada harganya. Eddy merasa dibuang, nggak berguna."

Air mata mulai mengalir di pipi Eddy, tapi dia terus bicara dengan suara yang semakin mantap.

"Tapi Allah Bapa... Dia memungut Eddy. Dia bersihkan hati Eddy. Dia kasih Eddy keluarga baru di gereja ini. Dia jadikan Eddy anak-Nya yang berharga. Sama seperti ayah yang bikin sampah jadi berguna, Allah bikin Eddy yang dulu merasa nggak berguna jadi anak yang dikasihi."

Hening total menyelimuti ruangan. Bu Sarah tidak bisa menahan air mata yang mengalir deras di pipinya.

Michael, yang tadi paling keras protes, sekarang diam dengan mata berkaca-kaca. Andi, Sarah, Lisa, dan semua anak di kelas terdiam dengan hati yang tersentuh.

"Eddy..." Bu Sarah memeluk anak itu erat-erat, "kamu tahu nggak? Jawaban kamu adalah jawaban yang paling indah yang pernah Bu Sarah dengar."

Bu Sarah berdiri dan menatap seluruh kelas dengan mata yang basah tapi bersinar.

"Anak-anak, kalian semua memberikan jawaban yang hebat. Allah memang seperti dokter yang menyembuhkan, guru yang mengajar, hakim yang adil, arsitek yang membangun. Tapi Eddy... Eddy mengingatkan kita semua bahwa Allah juga seperti pemulung yang penuh kasih."

"Dia memungut kita yang merasa rusak, yang merasa tidak berharga, yang merasa dibuang oleh dunia. Dia bersihkan kita, Dia perbaiki hidup kita, dan Dia jadikan kita anak-anak-Nya yang sangat berharga."

Michael perlahan berdiri dari kursinya, mendekati Eddy. "Eddy... maaf ya. Jawaban kamu... jawaban kamu keren banget."

Satu per satu anak-anak lain ikut mengelilingi Eddy, memberikan pelukan dan permintaan maaf.

Dan di ruang kelas Sekolah Minggu yang sederhana itu, mereka semua belajar tentang kasih Allah yang tak terbatas—kasih yang tidak memandang status, kekayaan, atau kehormatan duniawi. Kasih yang memungut, membersihkan, dan menjadikan setiap orang berharga di mata-Nya.

Renungan

Saudara yang terkasih, pernahkah kamu merasa seperti "sampah" yang tidak berguna?

Cerita Eddy mengingatkan kita pada kebenaran indah dalam Efesus 2:10, "Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya."

Allah tidak melihat kita sebagai sampah. Dia melihat kita sebagai mahakarya yang sedang dalam proses. Bahkan ketika dunia membuang dan meremehkan kita, Allah datang seperti "pemulung" yang penuh kasih, memungut kita dengan lembut, membersihkan kita, dan menjadikan kita berharga.

Mungkin kamu merasa hidupmu rusak karena kesalahan masa lalu. Mungkin kamu merasa tidak layak karena latar belakang keluarga. Mungkin kamu merasa dibuang karena kegagalan yang pernah dialami.

Tapi ingatlah: Allah spesialis dalam mengubah "sampah" menjadi harta karun. Dia tidak pernah melihat kita berdasarkan apa yang kita miliki atau dari mana kita berasal. Dia melihat kita berdasarkan kasih-Nya yang tak bersyarat.

Seperti ayah Eddy yang melihat nilai dalam barang bekas, Allah Bapa melihat nilai tak terhingga dalam hidupmu. Kamu bukan sampah—kamu adalah anak Allah yang sangat berharga.

Doa: "Bapa surgawi, terima kasih karena Engkau tidak pernah memandang rendah siapa pun. Ketika dunia menganggap kami tidak berharga, Engkau datang dengan kasih dan mengangkat kami menjadi anak-anak-Mu. Tolong bantu kami melihat diri kami sendiri dan orang lain dengan mata kasih-Mu. Dalam nama Yesus Kristus. Amin."

Comments

Post a Comment