Dibentuk Lewat Api: Ketika Tuhan Menjadikan Kita Indah

Tuhan punya caranya sendiri dalam membentuk kita, walaupun terkadang caranya begitu sakit, tapi dia tahu yang terbaik bagi anaknya.

Di sebuah toko suvenir kecil yang hangat dan bersahaja, sepasang kakek dan nenek sedang mencari hadiah untuk cucu mereka tercinta. Mata mereka tiba-tiba tertarik pada sebuah cangkir keramik yang begitu indah. Permukaannya halus, coraknya elegan, warnanya lembut menyejukkan mata.

"Sayang, lihat cangkir itu," ucap sang nenek dengan kagum.

“Iya… Ini cangkir tercantik yang pernah aku lihat,” sahut kakek.

Namun ketika mereka mendekat, sesuatu yang mengejutkan terjadi, cangkir itu... berbicara.

“Terima kasih sudah mengagumi aku,” kata si cangkir. “Tapi izinkan aku bercerita. Aku dulunya hanyalah sebongkah tanah liat yang tak berarti. Sampai akhirnya, tangan kasar seorang pengrajin menempatkanku di atas roda berputar. Aku diputar dengan cepat. Aku pusing. Aku berteriak, ‘Berhenti!’, tapi sang pengrajin hanya menjawab, ‘Belum.’”

“Lalu, ia mulai menekanku, membentukku, memukul dan meninju tubuhku agar lentur dan siap dibentuk. Rasanya tak tertahankan. Lagi-lagi aku memohon, ‘Cukup!’ Tapi jawabannya tetap, ‘Belum.’”

“Setelah itu, tubuhku yang lemah dimasukkan ke dalam perapian. Panasnya luar biasa. Aku merasa seperti akan hancur. Tapi lagi-lagi ia berkata, ‘Belum.’”

“Setelah keluar dari api, aku kira semua sudah selesai. Tapi ternyata, tubuhku dilapisi cat dan pewarna yang baunya menyengat. Aku nyaris tak kuat menahan rasa mual. Tapi tahukah kalian? Aku malah dikembalikan lagi ke perapian, kali ini lebih panas dari sebelumnya. Aku menangis, aku memohon… tapi sang pengrajin tetap berkata, ‘Belum.’”

“Lalu, saat tubuhku dingin, aku diangkat oleh seorang wanita lembut, dibersihkan, dan diletakkan di depan cermin. Aku hampir tak mengenali diriku sendiri. Aku bukan lagi tanah liat biasa. Aku kini menjadi sebuah cangkir yang indah, kuat, dan berharga.”

Kita pun kadang merasa seperti tanah liat itu. Tuhan izinkan hidup kita diputar, ditekan, bahkan masuk ke dalam ‘perapian’ penderitaan. Rasanya ingin menyerah. Kita pun berteriak, "Tuhan, sampai kapan?"

Namun, dalam segala proses itu, Tuhan sedang membentuk kita.

Ia tahu apa yang Ia lakukan. Ia tahu kapan harus berkata, “Belum”, dan Ia juga tahu kapan waktunya berkata, “Selesai.”

Kita tidak dibentuk untuk sekadar bertahan. Kita dibentuk untuk menjadi indah seturut rencana-Nya yang sempurna. Sama seperti si cangkir yang akhirnya berdiri dengan anggun, demikian juga hidup kita, jika kita berserah penuh kepada Tuhan.

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya…”
— Pengkhotbah 3:11
Halo semua